Wisata Menafsir Bumi (artikel wartawan Tempo Anwar Siswadi di Majalah Tempo)

Kabut dingin dan bau belerang melayang layang di atas kawasan Kawah Putih, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hujan rintik tak mengusir sekitar 30 orang yang berkumpul di bibir salah satu dari empat kawah Gunung Patuha itu. “Ini tuff, sifat batuannya higroskopis atau me-nyerap air, coba saja ke lidah,” kata doktor geologi dari Institut Teknologi Bandung, Budi Brahmantyo.
Mereka yang penasaran lalu menempelkan batu tersebut ke ujung lidah. “Rasanya lidah seperti terisap,” kata Adi Marsiela, salah seorang di antaranya. Serpihan batu putih yang agak kasar karena berpori pori kecil itu, menurut Budi, adalah bukti adanya letusan gunung api.
Acara “cicip batu” itu salah satu kegiatan kelompok wisata alam Mata Bumi. Geotrek, mereka namai tamasya tersebut. Kegiatannya menikmati alam sesungguhnya, mulai kawah, lereng, gua, lekungan bekas lava gunung, sampai menyusuri area yang diduga bekas sungai purba.
Setelah terbatuk batuk oleh tusuk-an bau belerang, kelompok itu pindah ke lokasi lain. Di bawah guyuran hujan, mereka berjalan melewati perkebunan teh lalu mendaki lereng, melintasi jalan setapak yang licin. Perjalanan selama 15 menit itu pun akhirnya dibayar oleh keindahan kawah hijau muda. Kontras dengan lereng kehitaman dan pepohonan yang gosong akibat belerang di sekelilingnya.
Bagi Diella Dachlan, 34 tahun, geotrek yang paling mengesankan adalah pada saat menyusuri alur Sungai Citarum purba mulai daerah Rajamandala hingga Gua Sangiangtikoro, Kabupa-ten Bandung Barat. Konsultan komunikasi dan lapangan Program Pengelolaan Citarum Terpadu itu terke-sima melihat sungai terpanjang di Jawa Barat itu tak sekotor dan berlimbah di bagian perkotaan. Tanpa pikir panjang, Diella menceburkan diri ke sungai bersama puluhan peserta lain walau tak membawa celana ganti.
Wisata bumi atau geotrek ke alam sekitar Bandung kini menjadi tren wisata dan kian marak dengan berdirinya beberapa kelompok pemandu. T. Bachtiar, lulusan Jurusan Geografi IKIP Bandung berusia 52 tahun, salah seorang penerjemah geotrek, mengaku memandu rombongan hampir tiap akhir pekan atau paling sedikit sebulan sekali. “Awal bulan ini kami diminta mengantar siswa sekolah Babussalam ke Citarum purba,” ujarnya.
Bersama Budi Brahmantyo, 48 tahun, lulusan Jurusan Geologi Institut Teknologi Bandung dan master Universitas Niigata, Jepang, membentuk Kelompok Riset Cekungan Bandung. Mereka berdua biasanya langganan didapuk bersama atau masing masing sebagai pemandu rombongan sekolah, kelompok karyawan perusahaan, dan komunitas jalan jalan ke alam bebas sejak 2000.
Budi memulai kegiatan ini dengan mengajak siswa sekolah dasar sampai menengah atas. Adapun Bachtiar aktif mengorganisasi guru geografi untuk mengenali kawasan Cekungan Bandung.�Semua itu berawal dari pe-nemuan kerangka manusia purba di Gua Pasir (Bukit) Pawon, Citatah, Kabupaten Bandung Barat. Ketika itu kedua dosen geologi dan geografi tersebut tergerak untuk mengenalkan alam dan kondisinya yang terancam. Situs prasejarah itu kini dibayangi kehancuran karena serbuan penambang batu karst atau kapur. Dari jalan raya Padalarang Citatah, bisa terlihat deretan bukit kehitaman itu telah dikupas hingga bagian dalamnya yang berwarna putih kekuningan.
Pendidikan sekaligus kampanye lingkungan yang dimulai kedua orang itu menular. Berbagai kelompok dan komunitas seperti Bandung Trails, Mata Bumi, pembuat kaus Mahanagari, dan penerbit buku Truedee ikut mengelola geotrek sejak 2007. Peminatnya berdatangan dari Bandung, Jakarta, dan Tasikmalaya. Lokasinya kerap di sekitar Bandung, terkadang tempat wisata yang biasa didatangi turis asing dan lokal seperti Gunung Tangkuban Perahu dan Kawah Putih. Namun sering tujuan mengarah ke tempat yang jarang dikunjungi, seperti situs manusia purba Gua Pawon, Patahan Lembang, situs radio komunikasi Belanda di Malabar, “Volkano Trekking” ke pegunungan yang memagari cekung-an Bandung, atau “Mengungkap Misteri Bobolnya Danau Bandung Purba” ke Sungai Citarum dengan bebatuan dan guanya yang eksotis.

Sieling Go, pendaki puncak Gunung Everest dan Elbrus, juga kepincut. “Selain ada cerita tentang suatu lokasi, enak jalan ramai ramai begini. Biasanya kalau mendaki kan sendiri,” ujar perempuan berusia setengah abad itu. Di setiap lokasi, peserta bisa merasakan langsung nyawa bumi. Terlihat jelas bagian mana yang telah rusak atau masih tumbuh dengan fantastis. “Saya menjadi lebih apresiatif ke alam,” ujar Diella.
Memang, geotrek tak sekadar jalan jalan, berfoto, makan, lalu pulang. Perjalanan semacam ini bisa menambah pengetahuan dan informasi lewat penuturan pemandu ataupun bahan tertulis yang dibagikan kepada peserta. Informasi tentang dongeng atau legenda yang dipercaya masyarakat pun ada. “Seperti kuliah lapangan, tapi ringan,” kata Budi Brahmantyo.
Jika sedang beruntung, wawasan akan semakin kaya dari keterangan, cerita, atau pengalaman peserta lain yang ternyata adalah guru, pengajar, arkeolog, atau peneliti dari Museum Geologi Bandung.
Ajakan pergi ke suatu lokasi geotrek itu biasanya muncul dan menyebar dari obrolan langsung atau lewat jaring pertemanan di Internet, layanan pesan pendek, surat elektronik, juga komentar foto foto obyek wisata. Dari situ, keinginan sekelompok kecil orang pergi ke suatu tempat bisa membesar hingga membuat pengelola acara kelabakan. “Bersama komunitas kami sudah menjajal lima geotrek dengan peserta yang membeludak, tetapi kami batasi 70 sampai 100 orang,” kata Ummy Latifah, -mitra penulis dan penyanyi Dewi Dee Lestari dalam kepemilikan usaha pener-bitan Truedee.
Namun, untuk ikut wisata bumi ini, jangan berharap seperti turis, yang akan dilayani sepenuhnya oleh panitia acara. Seperti hendak naik gunung dengan tingkat yang lebih ringan, setiap peserta harus menyiapkan sendiri peralatan seperti jas hujan hingga perbekalan makan dan minum. Kesehatan fisik dan mental pun harus benar benar siap untuk menerabas sungai, meniti bebatuan, mendaki lereng, sambil terkadang diguyur hujan. “Kami ini mengisi kekosongan pariwisata yang biasa dilakukan travel agent dengan pelayanan mengantar wisatawan ke obyek wisata dan kuliner lalu pulang,” kata Ben Wirawan, salah satu pendiri Mahanagari, yang kini juga menekuni geotrek.
Keamanan peserta selama acara tetap menjadi prioritas. Walau jalur menantang, tetap dipilih yang aman dan bisa dilewati banyak peserta, dari anak muda hingga orang separuh baya. Di beberapa lokasi alam liar, panitia membawa beberapa anggota pencinta alam untuk memandu peserta melewati rute tertentu atau memasang tali pegangan di tanjakan curam. Tak jarang, peserta pun membantu rekannya yang kesulitan naik atau terjatuh. Membangun rasa kebersamaan itu selalu dimulai dengan perkenalan sesama peserta sebelum berangkat. Agar lebih tenang,
Mahanagari, misalnya, juga mengurus asuransi kecelakaan ke bank swasta yang berlaku sehari bagi tiap peserta.
Kesan yang didapat dari tamasya bumi tak langsung lenyap seusai perjalanan wisata yang membutuhkan waktu sekitar enam jam itu. Biasanya peserta akan menulis pengalamannya di Internet lalu merebak dalam hitung-an hari. Peserta dari kalangan mahasiswa dan pekerja umumnya menuangkannya lewat foto dan tulisan di blog. Bagi penerbit Truedee, yang telah empat kali menggelar geotrek sesuai dengan isi buku Wisata Bumi Cekungan Bandung yang diterbitkannya, tinggi-nya minat menulis itu adalah nilai yang berharga. “Setelah jalan jalan, kami mengadakan lomba menulis untuk peserta dengan hadiah uang dan buku,” kata Ummy Latifah. Rencananya, semua tulisan terbaik akan dibukukan menjadi bunga rampai.
AT, Anwar Siswadi (Bandung), Tempo

No comments

Home